KARMEL ELIANA
SPIRITUALITAS KARMEL ELIANA
A.
Dalam Semangat
Nabi Elia
Dalam tradisi bapa Gereja, baik Timur maupun Barat, Bapa
nabi Elia selalu dipandang sebagai teladan para pertapa. Demikian juga dengan
sejarah Karmel, sejak semula nabi Elia dipandang sebagai penggerak dan
penjiwanya dan karenanya dia dipandang sebagai “bapa dan pemimpin para
Karmelit.”[1]Elia
meninggalkan segala-galanya dan memilih hidup dalam kesunyian dan keheningan
Gunung Karmel sebagai seorang pertapa. Elia merupakan seorang insan Allah, yang
hidup hanya bagi Allah. Karena persatuannya yang mendalam dengan Allah, ia
mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah melalui doa permohonannya. Elia
membangkitkan anak janda di Sarfat yang meninggal (bdk. 1Raj 17:7-24). Tuhan
menurunkan hujan bagi Israel yang sedang mengalami kemarau selama tiga setengah
tahun karena doa Elia (bdk. 1Raj 18:43-45). Allah menurunkan api dari langit dan
membakar habis korban bakaran serta membunuh empat ratus lima puluh nabi baal
karena iman Elia yang besar (bdk. 1 Raj 18 20-24). Karena Elia senantiasa hidup
melulu bagi Allah dan dalam kesunyian yang mendalam, maka ia mampu mewartakan
Allah yang hidup kepada Israel. Pewartaan Elia yang penuh karisma ini
memperlihatkan kemahakuasaan Allah. Inilah yang dihayati dalam spiritualitas
Karmel Eliana, siapa pun yang menghayati spiritualitas ini dibentuk dan
diarahkan untuk menjadi insan-insan Allah yang dibutuhkan oleh Gereja pada
zaman ini. Dengan demikian diharapkan bahwa apa yang diwartakan kepada dunia
adalah hasil persekutuan mesra dengan Allah pertama-tama melalui doa dan
kontemplasi. Dari hasil persatuan mesra itulah terdapat karya Roh Kudus yang menyertai para insan
Allah di dalam karya pelayanan, sehingga orang yang melihatnya tergerak untuk
mencintai Allah. Dengan demikian tidaklah mungkin memisahkan antara
spiritualitas Karmel dan pembaruan hidup dalam Roh yang berpadu di dalam spiritualitas Karmel
Eliana dan sekaligus menjadi ciri khas spiritualitas ini.
Sebelum melihat perpaduan kedua spiritualitas ini, ada
baiknya kita melihat satu-persatu mengenai dua spiritualitas yang mendasari spiritualitas
Karmel Eliana yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
B.
Spiritualitas
Karmel Awali
Spiritualitas Karmel mengambil bagian dalam semangat Kristus yang ada di
dalam tubuh Gereja dalam hal doa, kesunyian, keheningan dan kontemplatif. Para
rahib Karmelit[2]berusaha menghayati kehidupan doa dan
kontemplasi untuk mengalami kehadiran Tuhan. Mereka mengutamakan kesunyian dan
keheningan dalam hidup bertapa.Mereka tinggal di pondok-pondok yang terpisah
untuk bersemuka dengan Tuhan.Namun persaudaraan tetap memberikan warna tersendiri
ke dalam hidup mereka. Bersama-sama mereka berdoa ibadat harian, merayakan
Ekaristi setiap pagi di kapela yang didirikan di tengah-tengah pondok mereka.
Bersama-sama mereka makan sambil mendengarkan bacaan, bersama-sama pula mereka
memiliki apa yang didermakan kepada mereka dan yang dibagikan oleh prior kepada
mereka menurut kebutuhan masing-masing.[3]Namun para rahib kadang-kadang juga
turun gunung untuk mewartakan sabda Tuhan.
Cara hidup dan cita-cita Karmel awali dapat disimpulkan dari Kitab Para
Rahib Pertama. Tujuan hidup mereka diungkapkan secara jelas sekali dalam
kitab tersebut; suatu tujuan ganda.
i.
Yang
pertama dapat kita capai dengan jerih payah kita dan latihan kebajikan dengan
bantuan rahmat Allah, ialah mempersembahkan kepada Allah sebuah hati yang suci
murni, bebas dari segala noda dan dosa aktual;
ii.
Yang
keduadalam hidup ini ditawarkan kepada kita semata-mata sebagai suatu karunia
yang cuma-cuma dari Allah. Karunia itu ialah boleh menikmati dengan suatu cara
dalam hati, serta mengalami dalam roh, kuasa kehadiran Allah dan kemanisan
kemuliaan surgawi, bukan saja sesudah mati, namun sudah sejak hidup di dunia
ini.[4]
Inilah suatu cita-cita rohani
yang amat tinggi dan luhur. Dengan berani dan secara konsisten tradisi Karmel
menyajikan kepada anggota-anggotanya tidak kurang dari pada persatuan mistik
ini sebagai cita-cita hidup mereka. Dalam Gereja hal ini sungguh merupakan
sesuatu yang unik. Rupanya hanya Karmel saja yang menjadikan tujuan tersebut
sebagai cita-cita bagi para anggotanya.[5]
1.
Kesunyian dan Keheningan
Nabi Elia adalah tokoh dan teladan para pertapa. Ia
pertama-tama adalah insan Allah. Seluruh hidupnya diresapi oleh Allah dan
segala kegiatannya didorong oleh kehendak Allah serta kemuliaan-Nya. Ia pertapa
yang melewatkan hampir seluruh hidupnya dalam kesunyian di hadirat Allah. Roh
menariknya dalam kesunyian. Di situ ia mengalami kemesraan cinta Allah dan
semakin bertumbuh dalam hubungan dengan-Nya. Cara hidup inilah yang dihayati oleh para Karmelit. Para
pertapa di gunung Karmel menempuh suatu cara hidup kontemplatif yang bersifat
semi eremitis dalam keheningan dan kesunyian. Seperti yang terungkap dalam
Regula yang berkata, bahwa mereka harus tinggal di pondok masing-masing, siang
malam merenungkan hukum Tuhan dan berjaga-jaga dalam doa.[6]
Dalam keheningan dan kesunyian itulah mereka dapat
mengalami kehadiran Allah yang mengatasi segala pengertian, serta dapat
mendengar bisikan-bisikan Roh yang tidak diungkap dalam bahasa manusia.[7] Seperti
halnya Allah yang ketika menyatakan diri-Nya kepada Elia di gunung Horeb. Allah
tidak ia temukan dalam kegaduhan angin besar, gempa maupun api, tetapi Allah
dapat ditemukannya dalam angin sepoi-sepoi basa yang hening dan sunyi (bdk.
1Raj 19:11-13).
2.
Hidup Tapa dan Penyangkalan Diri
Tujuan hidup bertapa yang diungkapkan dalam Regula Karmel
ialah pengenalan dan persatuan dengan Allah dalam Yesus Kristus yang
diungkapkan dengan istilah: "mengikuti Yesus Kristus dan berpaut padaNya
dalam kesetiaan dengan hati yang murni dan suara hati yang bersih".[8]
Puasa dan pantang mempertajam penglihatan hati dan
membantu orang merasakan kehausan dan kelaparan hatinya. Haus dan lapar yang
dirasakan oleh hatinya hanya dapat dipuaskan oleh Yesus Kristus yang telah
memanggilnya.
Ajaran
Injil meminta agar kita menolak cinta
diri dan membiarkan cinta kepada Tuhan menguasai kita. "Barang siapa mau
menjadi pengikutku, hendaklah ia menyangkal diri" (Mat 16:24).
Penyangkalan
diri adalah sikap jiwa yang sama sekali tidak hidup bagi diri sendiri, sikap
tulus, tetap, keputusan yang bertujuan memalingkan jiwa dari kecenderungan kodratinya yang mau
menjadikan dirinya pusat hidupnya, suatu niat yang tertuju pada tidak mementingkan diri sendiri, mau
mengesampingkan diri sendiri, menjauhkan diri dari kesenangan-kesenangan yang
akan memalingkan kita dari jalan Tuhan.
3.
Doa Kontemplatif
Doa kontemplatif merupakan sebuah doa dengan hati dan kehendak yang terus mengarahkan diri kepada kehadiran Allah. Bibir dan budi sama-sama menjadi tenang; orang hanya memandang Allah dalam iman sementara hati terus mencari hubungan dalam doa tanpa kata dan kehendak rindu untuk bersatu dengan kehendak Allah.[9] Dasar dari spiritualitas Karmel adalah adanya pengalaman akan cinta kasih Allah; suatu pengalaman yang mendalam. Oleh karena itu, mereka yang ingin menghayati kehidupan Karmel membutuhkan kerinduan yang besar akan kontemplasi. Kerinduan akan kontemplasi tidak diperoleh dengan usaha manusia semata, tetapi Allah sendirilah yang menanamkan kerinduan itu dalam lubuk terdalam jiwa manusia dan memeliharanya dengan rahmat dan Roh Kudus.
Spiritualitas Karmel menolong umat untuk berdoa dengan
beberapa unsur penting yaitu
berdiam dalam hadirat Tuhan, tenggelam dalam
misteri Tuhan, yang berarti berdoa, layaknya bunda
Maria yang
menjadi teladan dalam doa kontemplatif. Pergumulan hidup yang selama ini dilakukan
dalam doa menuju kepada persatuan dengan Allah yang di ajarkan oleh para
pertapa awali serta para kudus yang mengambil jalan hidup Karmelit membawa
sebuah cara pandang hidup yang mengarah seluruhnya hanya pada kehendak Allah.
C.
Spiritualitas
Pembaruan Hidup dalam Roh (Karismatik)
1.
Awal dan Latar Belakang Pembaruan Hidup dalam Roh
Pembaruan ini mulai masuk dalam Gereja Katolik diawali dari
sekelompok kecil sekitar 30 orang yang terdiri dari dosen dan mahasiswa dari
Universitas Duquesne, Pittsburgh-Amerika Serikat. Mereka mengadakan suatu
pertemuan pada tanggal 18-19 Februari 1967. Dalam pertemuan itu mereka satu per
satu mengalami pengalaman kehadiran Roh Kudus secara baru, yang umumnya disebut
pengalaman ‘pencurahan Roh’ atau ‘dibaptis dalam Roh’. Dari sekelompok kecil
itu, pembaruan ini terus berkembang sampai berkumpulnya sekelompok besar
(30.000 orang) pada bulan Juni 1974 di Universitas Notredame, Amerika Serikat.
Dalam waktu relatif singkat, pembaruan ini terus berkembang dengan cepat hingga
dewasa ini.[10]
Gerakan pembaruan ini dilatarbelakangi oleh adanya krisis yang melanda Gereja
setelah Konsili Vatikan II.Saat itu terjadi kemerosotan hidup
rohani di mana-mana, dengan banyaknya imam, biarawan/wati yang meninggalkan
panggilannya, banyaknya masalah-masalah yang terjadi dalam Gereja, dan banyak
orang, khususnya kaum muda, yang meninggalkan Gereja.[11]
Semakin banyak umat yang rindu untuk mengalami pembaruan dalam segi hidup
rohani.
2.
Aspek Teologis
Pembaruan ini pada hakekatnya adalah pembaruan tentang cara berpikir, cara
kerja dan karenanya juga cara hidup orang-orang kristen. Pembaruan ini
membawakan kepada seluruh umat manusia kesadaran akan ketergantungan manusia
akan kuasa Roh Kudus, baik untuk menghayati Injil maupun untuk mewartakannya.[12]Gerakan pembaruan ini membawa orang
kepada suatu pengalaman akan Allah yang mengubah seluruh hidupnya, menjadikan
dirinya manusia yang baru, manusia yang digerakkan oleh Roh Kudus. Jadi
dituntut suatu keterbukaan dan penyerahan diri secara total kepada kehendak Roh
yang menjiwainya. Tujuan utama dari pembaruan hidup dalam Roh itu sendiri
yaitu pembaruan cara berpikir, cara kerja, dan cara hidup orang Katolik yang
benar-benar memiliki hubungan yang baru dengan Yesus dan RohNya, serta
pengalaman akan cinta Allah, merupakan suatu kekuatan baru dalam diri orang
kristen, yang menimbulkan perubahan-perubahan yang mendalam di dalam hidupnya.Aspek teologis inilah yang penting dari
pembaruan ini.
3.
Aspek Sosiologis
Aspek ini merupakan ungkapan-ungkapan secara konkrit dari
apa yang dialami dalam Pembaruan itu. Supaya apa yang dialami itu tidak hilang
dan memudar, orang mengadakan apa yang disebut Persekutuan Doa, suatu cara
berdoa dan memuji Tuhan dengan gaya-gaya lahiriah tertentu untuk memelihara
pengalaman Roh Kudus itu dan mengembangkan karunia-karunia Roh yang telah
diterimanya dan mulai berkembang. Namun semuanya itu bersifat relatif.[13]Karena yang terpenting adalah tujuan utama
dari pembaruan hidup dalam Roh itu
sendiri.
Dari dua aspek yang berbeda itu, perlu orang dapat membedakan mana isi
teologisnya dan mana ungkapan sosiologisnya dalam pembaruan, agar jangan
dijumpai ungkapan yang berlebihan sehingga berakibat penolakan oleh banyak
kalangan terhadap pembaruan ini.
4.
Pencurahan Roh Kudus
Satu faktor yang sangat
penting dan bahkan menentukan dalam Pembaruan Karismatik, ialah pengalaman
Allah yang diterima oleh orang-orang mengikutinya. Di situ orang dibawa ke
suatu kesadaran baru, bahwa Allah itu sungguh hidup, mengasihi kita dan dapat
kita alami kasihnya, walaupun tetap dalam iman, namun suatu pengalaman yang nyata dan transformatif, yang mengubah hidup
seseorang secara mendalam. Pengalaman itu dapat diterima dan dialami baik oleh
kaum awam pada umumnya, maupun para biarawan-biarawati dan imam, bahkan juga
uskup, yang terbuka untuknya. Pengalaman itu biasanya disebut dengan istilah
Pencurahan Roh Kudus atau Pembaptisan Roh Kudus.[14]Pengalaman akan pencurahan
Roh Kudus atau babtisan Roh Kudus terdapat dua segi mendasar:
i.
Pengalaman akan baptisan Roh Kudus tidak lain adalah
pengalaman di mana seseorang merasakan sungguh-sungguh secara personal bahwa
dirinya diterima dan dikasihi secara istimewa oleh Allah sendiri.
ii.
Merupakan pengalaman akan pemberdayaan oleh Roh Kudus untuk melakukan apa
yang dulu dilakukan oleh Yesus sendiri[15]
5.
Manifestasi Roh Kudus
Salah satu ciri khas pembaruan
karismatik ialah manifestasi Roh Kudus melalui karunia-karunia-Nya, atau yang biasanya
disebut karisma. Pembaruan Karismatik tidak bisa dilepaskan atau dipisahkan dari
karisma-karisma Roh Kudus.[16]Karunia-karunia tersebut
bukanlah ganjaran untuk kesucian seseorang, melainkan pemberian yang cuma-cuma
dan yang memungkinkan orang menjadi suci pula. Penggunaan karisma-karisma ini,
mulai dari yang terendah sampai yang paling tinggi dan luhur, akan membangun
Tubuh Kristus, Gereja Kudus (bdk. l Kor. l2:l2). Maka setiap orang kristen
mempunyai hak dan kewajiban untuk menggunakannya demi perkembangan dan kesatuan
Gereja.[17]
Jumlah karisma-karisma yang ada dalam tubuh Gereja melalui pembaruan
Karismatik sebenarnya tidak mungkin untuk dikatakan, karena manifestasi Roh
Kudus tidak terbatas jumlahnya. Namun dalam 1 Kor 12:17-11 St. Paulus
memberikan daftar 9 buah karunia yang rupanya sering dijumpai dalam
jemaat-jemaat. Karunia tersebut antara lain: berdoa dan berkata-kata dalam
bahasa roh, karunia tafsiran, nubuat, karunia iman, karunia penyembuhan,
karunia mukjizat, sabda kebijaksanaan, sabda pengetahuan, karunia
membeda-bedakan roh.[18] Semua karisma ini merupakan
manifestasi Roh Kudus yang diberikan secara cuma-cuma kepada orang-orang
beriman untuk membangun Tubuh Kristus.
Komentar
Posting Komentar